Menyikapi Normalisasi Pacaran di Tengah Masisir

Ali Al Mu’tashim Billah Al Ayyubi LC

(Direktur Utama Helwa Center Mesir)

Belakangan ini, saya semakin sering mendengar bisik-bisik mengenai fenomena yang seharusnya menjadi perhatian serius di kalangan Masisir—sebutan bagi mahasiswa(seluruh pelajar) Indonesia di Mesir. Meskipun mayoritas dari kita datang ke negeri ini dengan niat yang mulia: menuntut ilmu agama di bumi para ulama, kenyataannya ada perilaku yang perlahan mulai dinormalisasi, bahkan di kalangan pelajar agama. Fenomena ini adalah pacaran, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun yang tersembunyi di balik alasan "menjaga ukhuwah" atau "sekadar mengantar pulang".

 

Saya sendiri beberapa kali menyaksikan dengan mata kepala bagaimana ada pasangan yang duduk berduaan di mat’am, berbicara dengan penuh keakraban, atau berjalan berdua di jalanan Nasr City dengan dalih mengantar pulang setelah rapat organisasi. Ironisnya, semua ini dilakukan oleh orang-orang yang sedang menuntut ilmu syar’i—yang sejatinya paham benar akan batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam.

 

 Kenyataan yang Pahit

 

Tidak dapat dipungkiri, kehidupan di Mesir sering kali menempatkan kita dalam situasi yang penuh godaan. Jauh dari keluarga, rasa kesepian, ditambah dengan kebutuhan akan teman berbicara, sering kali dijadikan pembenaran atas hubungan yang tidak seharusnya terjadi. Bahkan, dalam beberapa organisasi, interaksi yang awalnya hanya sebatas kerja sama bisa berkembang menjadi perasaan yang melanggar batas syar’i.

 

Yang lebih memprihatinkan adalah munculnya narasi normalisasi pacaran di lingkungan Masisir. Ada yang beranggapan bahwa selama tidak melakukan hal-hal yang dilarang secara eksplisit—seperti berpegangan tangan atau hal lain yang lebih jelas—maka tidak mengapa makan berdua, mengantar pulang, atau berkegiatan bersama secara intens. Padahal, jika kita merujuk kepada prinsip-prinsip syariat Islam, semua ini adalah bagian dari mendekati zina yang sudah jelas dilarang oleh Allah dalam Al-Qur’an:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32)

 

 Prinsip Pergaulan dalam Islam

 

Dalam bukunya Sistem Pergaulan dalam Islam (نظام الاجتماع في الإسلام), Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan bahwa Islam telah mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan batasan yang jelas. Beliau menyebutkan:

"إنّ الإسلام قد حدد العلاقة بين الرجل والمرأة بشكل صارم من أجل حماية المجتمع من الفتنة"

"Islam telah menetapkan hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan ketegasan demi melindungi masyarakat dari fitnah."

 

Batasan-batasan ini bertujuan untuk menjaga kehormatan dan menghindarkan umat dari perilaku yang dapat membawa kepada dosa. Dalam interaksi sosial, Islam memperbolehkan laki-laki dan perempuan berinteraksi dalam situasi tertentu seperti jual beli, pengajaran, atau kebutuhan mendesak lainnya, dengan syarat tetap menjaga adab dan menghindari segala hal yang mendekati zina.

 

Rasulullah SAW bersabda:

 "ما خلا رجل بامرأة إلا كان الشيطان ثالثهما"

"Tidaklah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali syaitan menjadi pihak ketiganya." (HR. Tirmidzi)

 

Hadis ini memperjelas larangan berkhalwat, karena situasi seperti ini membuka peluang bagi syaitan untuk menjerumuskan manusia ke dalam dosa.

 

Selain itu, dalam Sistem Pergaulan dalam Islam disebutkan:

 "إنّ أي علاقة خارج هذا الإطار تؤدي إلى الفتنة والفساد."

"Setiap hubungan di luar batasan ini akan mengarah pada fitnah dan kerusakan."

 

Dengan kata lain, segala bentuk interaksi yang melampaui batas syar'i dapat menyebabkan kerusakan moral, baik secara individu maupun sosial.

 

 

Dalam Islam, batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan ditegaskan melalui beberapa dalil syar’i yang melarang segala bentuk interaksi yang dapat mengarah kepada fitnah. Rasulullah SAW bersabda:

 "ما تركت بعدي فتنة أضر على الرجال من النساء"

"Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki selain wanita." (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Hadis ini menegaskan pentingnya menjaga jarak dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan untuk menghindari terjadinya fitnah. Islam memperbolehkan interaksi antara laki-laki dan perempuan hanya dalam situasi yang mendesak dan sesuai dengan syariat, seperti jual beli, pengajaran, atau urusan sosial lainnya, dengan syarat tetap menjaga adab dan batasan yang telah ditetapkan.

 

Seperti yang disebutkan dalam Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali:

 "النظر سهم من سهام إبليس مسموم"

"Pandangan adalah salah satu panah beracun dari panah-panah iblis."

 

Pandangan saja dapat menjerumuskan hati ke dalam godaan yang tidak diridhai Allah, apalagi jika diiringi dengan pergaulan bebas yang membuka celah bagi syaitan untuk menguasai hati.

 

 Mengapa Ini Berbahaya?

 

Salah satu bahayanya adalah hilangnya keberkahan ilmu. Seorang penuntut ilmu yang melakukan hal-hal yang dilarang syariat akan sulit mendapatkan keberkahan dari ilmu yang ia pelajari. Betapa banyak ulama yang menekankan pentingnya menjaga hati dan pandangan agar ilmu yang didapatkan benar-benar membawa manfaat.

 

Lebih dari itu, pacaran di kalangan pelajar agama bisa menjadi contoh buruk bagi orang lain. Ketika seseorang yang dikenal sebagai penuntut ilmu syar’i terlihat melonggarkan batasan ini, maka ia bisa menjadi sebab tersebarnya fitnah di kalangan teman-temannya.

 

 Solusi: Kembali kepada Syariat

 

Sebagai pelajar agama, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kesucian diri, bukan hanya dalam ibadah formal, tetapi juga dalam hubungan sosial. Islam tidak melarang interaksi antara laki-laki dan perempuan, tetapi membatasi dalam koridor yang jelas.

 

Pertama, niat harus selalu dijaga. Setiap interaksi dengan lawan jenis harus diniatkan karena Allah dan semata-mata untuk tujuan yang dibenarkan syariat.

 

Kedua, hindari khalwat (berdua-duaan) dalam bentuk apa pun, termasuk dalam komunikasi online. Meski teknologi memungkinkan kita berinteraksi tanpa bertatap muka, komunikasi yang terlalu intens tetap bisa menimbulkan fitnah.

 

Ketiga, tanamkan rasa malu (haya’) yang tinggi. Rasulullah SAW bersabda:

 "الإيمان بضع وستون شعبة، والحياء شعبة من الإيمان."

"Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan rasa malu adalah salah satu cabang dari iman." (HR. Bukhari dan Muslim)

 

 Penutup

 

Fenomena normalisasi pacaran di kalangan Masisir bukanlah hal yang seharusnya dianggap remeh. Ini adalah pintu kecil menuju kerusakan yang lebih besar. Sebagai penuntut ilmu agama, kita dituntut untuk menjaga adab, menjaga pandangan, dan menegakkan syariat dalam kehidupan sehari-hari.

 

Saya mengajak diri saya sendiri, juga teman-teman Masisir sekalian, untuk kembali merenungkan tujuan utama kita datang ke negeri ini. Jangan sampai niat suci menuntut ilmu tercemari oleh perilaku yang justru bertentangan dengan ajaran yang kita pelajari. Semoga Allah menjaga kita semua dalam kebaikan dan menjauhkan kita dari segala bentuk fitnah yang membahayakan diri dan ilmu yang kita perjuangkan.

Tsaqafah dan Keilmuan Administrator 21 Feb 2025 03:58pm

  • Komentar : 0

Berikan komentar terbaik Anda

Helwa Center

Lembaga konsultan pendidikan yang memfasilitasi calon pelajar Indonesia di Institusi-institusi Al-Azhar di Mesir sejak tahun 2015.

Find Us

18 Ahmed Zumor, Hay Asyir, Nasr City, Cairo

© 2024 | Binwasoft | All Rights Reserved. Privacy Policy | Terms of Service